Pages

Sitti Manggopoh, Perempuan Melawan Belenggu Belasting


Di sekujur Minangkabau, 1908 adalah tahun yang panas. Belanda merasakan sengatan perlawanan luar biasa sebagai dampak diterapkannya kebijakan belasting (pajak uang) terhadap tanah dan berbagai aktifitas ekonomi masyarakat.

Inilah perlawanan terbesar setelah Paderi yang berlangsung seabad sebelumnya. Masyarakat Minangkabau menilai, penerapan belasting adalah tindakan menginjak-injak adat Minangkabau.

"Meski sebelum 1908, secara fisik Belanda sudah menduduki Minangkabau. Tetapi, masyarakat Minang tak merasakan terjajah karena ada Plakat Panjang yang antara lain menegaskan penghormatan Belanda atas hukum adat Minangkabau, tanah ulayat dan tidak ada kewajiban membayar pajak," kata sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan, Minggu (16/6/2013).

Komitmen 'Plakat Panjang' tersebut lambat laun dipreteli Belanda. Puncaknya, adalah penerapan pajak uang (belasting) pada 1908. "Hampir di seluruh daerah Minangkabau, muncul perlawanan terhadap belasting. Namun, yang paling besar dan dihadapi serius oleh Belanda, di Kamang dan Manggopoh," ujar Gusti.

Pada 15 Juni, di Kamang kaum agama dan kaum adat bersatu menggerakkan perlawanan. Darah bersimbah. Di kedua kubu, jatuh korban. Belanda memberantas perjuangan itu dengan hukuman yang bengis.

Sehari setelah Perang Kamang, perlawanan bergerak ke barat. Perang Manggopoh meletus pada 16 Juni 1908, hanya berselang sehari setelah Perang Kamang.

Dipimpin seorang pendekar cantik, Stiti Manggopoh, 53 tentara Belanda harus meregang nyawa bersimbah darah. Itulah gerakan Manggopoh melawan belasting yang turut menginspirasi perlawanan di berbagai wilayah lain.

"Stiti Manggopoh memang berbeda dengan kebanyakan pejuang lain. Meski hanya tokoh kampung, tidak berdarah biru, ia mampu menggerakkan perlawanan di Nagari Manggopoh," kata Abel Tasman, yang menulis buku 'Stiti Manggopoh' bersama Nita Indrawati dan Sastri Yunizarti.

Perlawanan tersebut mencapai puncak, karena tekanan dirasakan seluruh masyarakat dan menjadi problem sosial ketika itu. Dengan kemampuannya menguasai silat dan kepemimpinan, Sitti Manggopoh memimpin perlawanan melawan Belanda.

Mande Sitti Manggopoh yang lahir pada Mei 1880, saat peristiwa terjadi berusia sekitar 28 tahun. Ketika itu, ia sudah memiliki dua anak dari suaminya Rasyid Bagindo Magek.

Belanda, ketika itu, baru beberapa bulan membangun markas di Manggopoh untuk memaksakan pelaksanaan belasting. Kesewenang-kewenangan itu, mempercepat perlawanan. Sitti Manggopoh didukung suaminya memimpin penyerangan. Para jago silat berkumpul dan mulai menggelar latihan.

Sembari anggota pasukan latihan, Sitti masuk ke markas Belanda. Meski sudah memiliki anak, kecantikan Sitti masih membuat mata tentara Belanda terbelalak. Hal itu ia manfaatkan untuk menghimpun informasi tentang kekuatan dan kelemahan pertahanan tentara Belanda yang dipimpin seorang letnan.

Setelah paham kelemahan lawan, pasukan yang dipimpin Sitti mengepung markas Belanda, hanya sehari setelah Perang Kamang meletus. Dalam sekali gerakan pada 16 Juni 1908 malam, mereka berhasil membuat 53 tentara Belanda meregang nyawa.

Dua orang yang lolos, lari terbirit-birit mengadu ke markas Lubuk Basung. Belanda menurunkan bantuan besar-besaran. Sitti dan pasukan dikejar. Dalam pelarian tersebut, Mande Sitti membawa lari anaknya Dalima yang masih bayi selama 17 hari ke hutan.

Sitti pada akhirnya tertangkap dan dipenjara 14 bulan di Lubukbasung, 16 bulan di Pariaman dan 12 bulan di Padang. "Bila kita perhatikan, hukumannya cukup ringan. Mungkin karena mempertimbangkan anaknya yang masih kecil atau bisa jadi juga karena Belanda takut menerapkan hukuman berat. Takut perlawanan akan semakin besar mengingat besarnya pengaruh Sitti Manggopoh," kata Gusti Asnan.

Menurut Nita Indrawati, salah satu penulis buku 'Sitti Manggopoh', Mande Sitti memang memiliki kharisma luar biasa di tengah masyarakat Manggopoh. "Sejak kecil, ia telah menunjukkan bakat sebagai pemimpin. Semua temannya laki-laki, dan patuh pada Sitti."

Kemampuannya menguasai silat, kecantikan, kharisma dan keberanian membuat Sitti menjadi pemimpin ideal masyarakat Manggopoh.

Setelah sekitar 3,5 tahun dipenjara, Sitti dibebaskan. Setelah itu, hidupnya diawasi ketat oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Satu hal yang membuatnya amat sedih, setelah Perang Manggopoh, Mande Sitti terpisah dengan suaminya yang dibuang ke Manado. Mereka tak pernah lagi bertemu, hingga Mande Sitti Manggopoh meninggal dunia pada 20 Agustus 1965 dalam usia 85 tahun.

Tulisan: Hendra M.