DI Indonesia dewasa ini, agaknya, tidak ada sarana transportasi yang paling dibutuhkan sekaligus dikecam selain angkot (dan bus kota). Banyak keluarga Indonesia yang mengandalkannya untuk bepergian. Sebaliknya, ada pula yang menudingnya sebagai biang macet.
Di dunia akademik, mereka juga diabaikan. Hanya ada beberapa kajian etnohistori serius tentang mereka. Bandingkan dengan melimpahnya studi soal sejarah perkeretaapian atau kapal laut di Indonesia.
Tapi, sejarawan Australia David Reeve punya pandangan berbeda. Hal pertama yang membuatnya kagum saat menginjakkan kaki di Padang, Sumbar, justru adalah angkotnya. Dalam pandangan Reeve, angkot Padang adalah ’’angkutan umum paling nyentrik di dunia’’. Sebab, gaul dan nyeni. Bahkan mirip mobil rally.
Bagi Reeve, angkot/bus tak hanya sarana transportasi semata. Gagasan pokok Reeve di buku ini ialah bahwa angkot/bus di Padang adalah bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai resmi yang eksis di kota itu.
Pun, dekorasi angkot/bus merupakan bentuk pernyataan anak muda tentang ’’kemajuan’’. Berseberangan dengan visi mereka yang lebih tua yang taat pada tradisi dan harmoni dengan lingkungan dan alam.
Kata-kata dan gambar di angkot Padang mengacu pada suasana gaul, teknologi canggih, kecepatan, kekuasaan, maskulinitas, perasaan sebagai orang dewasa yang bebas, agresivitas, serta elemen-elemen budaya Barat. Tapi, menariknya, disisipkan pula pesan positif seperti cinta keluarga dan respek kepada orang tua.
Menurut Reeve, hampir 90 persen dekorasi transportasi umum di Minangkabau menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing lain (Inggris, Jepang, Korea, Arab, dengan bahasa Minang sebagai minoritas). Ini menunjukkan besarnya pandangan ke luar para pemilik dan sopir angkot/bus itu.
Reeve mengaitkannya dengan tradisi merantau Minang. Merantau tidak hanya secara fisik, tapi juga secara gagasan. Orang Minang merantau guna mendapatkan elemen budaya baru di luar.
Di samping itu, orang Minang, kata Reeve, dikenal karena keahlian linguistiknya. Angkot dijadikan sebagai medium lain untuk menyampaikan kemeriahan berbahasa lisan itu. Ada pula alasan praktis: ketatnya persaingan angkutan di Padang sehingga para sopir angkot harus kreatif.
Bagi Reeve, sopir angkot Padang adalah seorang seniman. Pakaian, gaya rambut, bahkan gaya bicara mereka gaul, menyesuaikan dengan angkot keren mereka.
Angkot juga melahirkan seniman lainnya, seperti bengkel modifikasi, tukang stiker, dan pelukis semprot. Inspirasi untuk bodi angkot diambil dari budaya pop di seluruh dunia. Mulai komik Jepang, merek celana Amerika, penyanyi Inggris, hingga acara komedi di TV.
Reeve juga membandingkan angkot Padang dengan angkot di kota-kota lain seperti Medan, Malang, Batu, Makassar, dan Ternate. Reeve menegas- kan, dilihat dari dekorasi di bodi angkot/ bus, orang Indonesia itu pada hakikatnya kreatif dan artistik.
Ada satu hal penting yang luput dari pengamatan Reeve, yakni bagaimana angkot gaul ini berperan dalam kehidupan penumpangnya. Bagaimana, misalnya, angkot sebagai medium sosialisasi antarwarga. Tempat mereka berbicara tentang berbagai persoalan kota.
Angkot/bus sebenarnya juga berfungsi sebagai rites de passage, ritual peralihan menuju dewasa. Sudah lazim bagi orang tua di Padang (dan saya yakin juga di tempat lain), setidaknya di peralihan abad ini, untuk membiarkan anaknya naik angkot sendiri sebagai langkah membuat anaknya mandiri. Dengan memberi pesan pada sopir atau kernetnya tentunya.
Meski demikian, buku ini tetap merupakan sebuah kajian yang istimewa. Ini adalah soal dinamika sehari-hari dan ekspresi seni jutaan orang Indonesia yang menopang eksistensinya. Kajian ini seharusnya mendorong studi transportasi rakyat lainnya, seperti becak dan ojek, serta menjadi bahan refleksi bagaimana agar angkot tak hanya indah dipandang, tapi juga nyaman, aman, dan efisien.
Sumber: Jawa Pos
