![]() |
Tsunami menjadi istilah populer di Indonesia, semenjak gempa disertai gelombang raksasa menghancurkan sebagian wilayah Aceh dan Sumatera Utara tahun 2004 lalu. Tsunami, sebuah istilah dari Jepang, kini lazim dibicarakan masyarakat, media, dan pemangku kepentingan.
Sumatera yang dikatakan pulau emas, berwajah indah dari anggunnya jejeran Bukit Barisan di bujur tengah, pahatan dinding yang mengangga, dilerai air terjun, gunung – gunung yang saling bersahutan, dan danau-danau yang menyegarkan mata.
Namun Samudera Hindia yang mendampingi di pesisir barat, menyimpan ancaman. Disana zona zubduksi, sumber gempa, terus berproses dan membujur disamping pulau Sumatra, hingga melingkar ke pantai selatan Jawa dan perarairan bagian timur Indonesia.
Di belahan barat Sumatera itu, dua dari tiga lempeng yang ada di Indonesia membujur dan berproses, yakni Lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Australia.
Berdasarkan data Lembaga Amerika Serikat yang mencatat tiap kejadian tsunami di dunia, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan juga catatan pejabat kolonial yang pernah bertugas di Sumatera, terbukti tsunami telah memiliki riwayat panjang di Sumatera bagian barat.
Bahkan, para geolog Kerry Sieh dari Amerika dan juga Danny Hilman Natawidjaja dari LIPI, mempublikasikan ada ancaman tsunami lebih besar di dekat perairan Siberut, Mentawai.
Penelitian intensif yang dilakukan sejak 1994, menemukan ada patahan naik yang berkemiringan landai sedang berproses di zona subduksi wilayah Siberut.
Megathrust, penyebutan untuk patahan itu,merupakan bidang kontak zona subduksi dangkal, dan diperkirakan menjadi sumber gempa bumi di lepas pantai barat Sumatera. Kekuatannya diperkirakan 8,9 SR, yang bisa memicu tsunami yang lebih besar dalam waktu 50 tahun kedepan.
“Megathrust yang menjadi isu populer ancaman bencana gempa dan tsunami untuk Sumatera Barat, sebetulnya pernah terjadi tahun 1797 dan 1861 di lokasi yang sama,” jelas Eko Yulianto, Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI sekaligus Peneliti Gempabumi dan Tsunami Purba, pada Februari 2013 di Padang.
Sebelum kejadian di Aceh tahun 2004, sebetulnya masyarakat yang tinggal di pesisir barat Sumatera telah mengenal ‘tsunami’ melalui penceritaan dari generasi ke generasi, dengan penyebutan berbeda-beda.
Masyarakat Sumatera Barat khususnya etnis Minangkabau menyebutnya ombak gadang dan badantuang guruah di hulu.
“Nyampang kok malang nan taraiah, badantuang guruah di hulu., babunyi gagah di lautan, alam batapuak, bumi lago. (Jika seandainya malang yang diraih, berbunyi petir di hulu, gagah di lautan, alam berisik, bumi beradu),” sebut pengamat adat dan seniman tradisi Minangkabau, Musra Dahrizal.
Pepatah demikian, sambung pria yang biasa dipanggil Mak Katik ini, memiliki arti bahwa tanda-tanda alam akan terlihat jika gempa besar akan datang.
“Badantuang guruah di hulu dimaknai petir yang berbunyi keras dan bergemuruh di hulu sebagai signal gempa besar. Gemuruh dianggap seperti orang mengguling-gulingkan batu diatas langit.
Sementara babunyi gagah di lautan adalah gelombang keras yang datangnya dari laut. Jika dibawa ke zaman modern hal tersebut berarti tsunami. Alam batapuak, bumi balago, berarti gempa yang berasal dari letusan gunung dan juga gempa di daratan,” tuturnya.
Sementara masyarakat Mentawai yang tinggal di tengah Samudera Hindia, menyebut Onu Sabek untuk gulungan ombak yang begitu besar.
Sedangkan masyarakat Simeulue yang juga tinggal di pulau di tengah Samudera Hindia mengenal istilah Smong, untuk mengatakan ada gulungan ombak besar.
Bahkan, Sejarawan Universitas Negeri Padang Mestika Zed, mencurigai nama nagari Air Bangis di Pasaman Barat berasal dari kata ‘air yang bengis atau marah’.
Apa pun istilah yang berkembang di tengah penduduk lokal, tsunami telah menorehkan sejarah yang berulang-ulang di wilayah pesisir barat Pulau Sumatera atau yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Daerah-daerah yang berada di kawasan pantai barat Sumatera antara lain, sebagian wilayah Aceh, sebagian wilayah Sumatera Utara, sebagian wilayah Sumatera Barat, Bengkulu, dan sebagian Lampung, telah merasakan sentuhan tsunami, dan akan terus menjadi ancaman kedepannya.
Disamping itu juga ada pulau-pulau besar yang merasakan hal yang sama dan terancam serupa karena langsung berada di tengah Samudera Hindia, antara lain, Mentawai, Simelue, Nias, dan Enggano.
Dari 28 kali tsunami yang terjadi sejak Abad 18 hingga saat ini, 2 tsunami terjadi pada abad ke-18, 10 tsunami pada abad ke-19, 6 tsunami pada abad ke-20 dan 10 tsunami pada abad ke-21.

