Bagaimanakah kiranya jawaban yang dapat mengakhiri pertanyaan itu?
Sabtu (8/4), menjelang pengujung malam di Masjid Agung Nurul Iman, Padang. Malam itu, Dr. Taufik Qulazhar, MA yang hadir memberikan tausiah menyampaikan pertanyaan yang sama kepada jemaah selepas shalat Isya. “Kenapa kita shalat?”
Ulama asal Garut yang berkunjung ke Padang awal Mei itu tidak menghadirkan jawaban bahwa shalat adalah tiang agama, shalat pembeda kita dengan orang kafir, atau shalat dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar. Barangkali, di antara kita sudah tahu dengan jawaban tadi.
Oleh ustad, kita dibawa beranjak dari pertanyaan ke ilustrasi.
“Ada gak di antara kita yang mau berjalan kaki dari Padang ke Pekanbaru?” tanya ustad. Tak ada yang menyambut pertanyaan dengan kesediaan. Setelah itu, ustad mengulang pertanyaan yang sama diiringi pengumuman.
“Setiba di Pekanbaru, yang berjalan kaki langsung dikasih uang sepuluh miliar. Ada yang mau?”
Nah, akan banyak yang bersedia jika begitu pengumumannya.
***
Ar-Rububiyah, apapun yang terjadi berada di tangan Allah. Untuk menyadarkan kita mengapa kita menyembah Allah, kita harus mengetahui betapa besarnya karunia Allah dalam kehidupan.
Di Hudaibiyah, para sahabat melakukan salat subuh setelah hujan turun pada malam harinya. Saat itu, Nabi Muhammad yang mengimami shalat berkata kepada para sahabat tentang perkataan Allah yang diterimanya (maksudnya hadis qudsi):
“Pada pagi hari ini, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah, maka dialah yang beriman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Adapun yang mengatakan kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini, maka dialah yang kufur kepada-Ku dan beriman pada bintang-bintang.”
Mengapa pernyataan tersebut disampaikan di depan para sahabat yang notabenenya adalah orang yang percaya kepada Allah dan Rasulullah?
Penekanannya adalah saat semua sebab tidak dikembalikan kepada Allah. Kita lupa bahwa hujan turun karena Allah, gempa bumi terjadi atas kehendak Allah. Apapun yang terjadi dalam dunia ini, harus kita kembalikan semua sebabnya pada Allah.
“Mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya…” (QS Az-Zumar: 67)
Nah, saat kita sudah sadar bahwa setiap kejadian di muka Bumi, baik dan buruk, manfaat dan mudarat, semuanya di tangan Allah, kesadaran itulah yang akan mengisi pertanyaan mengapa kita harus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, jika kita tidak menyadarinya, kekosonganlah yang akan meliputi hati kita dalam ibadah yang kita lakukan.
Kembali ke ilustrasi tadi, kenapa kita mendahulukan apa yang kita dapat di dunia, melupakan balasan di akhirat yang lebih baik dan kekal. Masalahnya: kita hanya mengimani apa yang kita lihat. Kenapa pengumuman dari ilustrasi tadi banyak yang memenuhi, sedangkan pengumuman Allah tidak?
Apakah kita harus menunggu saatnya, jika kita diberikan bahaya dan tidak bisa lepas darinya, kita baru sadar akan ketidakberdayaan kita?
“Apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus.” (QS Lukman: 32)
“Seseorang memberi kita uang seratus juta. Esoknya, ia meminta kita datang ke rumahnya.” Begitu ustad memberikan ilustrasi terakhirnya.
“Mau tidak?” tanya ustad.
Apakah ada alasan saya tidak menyembah Allah, sedangkan saya diciptakan Allah.
Tulisan: Rahmat Irfan Denas
