Pages

Kota Padang Dulu, Tata Ruang Rasialis


Intervensi Belanda dalam Perang Paderi (1821-1837) berpengaruh besar bagi perluasan Padang. Wilayah kota diperluas ke barat untuk pembangunan barak militer, disisi lain jalan ke daerah pedalaman mesti dibuka untuk pergerakan bala tentara, dan juga cita-cita menyatukan Padang dengan pedalaman Minangkabau dibawah satu pemerintahan.

Hal berbanding lurus juga terjadi pada urusan pemukiman. Seiring populasi kian berkembang, pemukiman pun makin meluas ke arah utara.

Padang, bermula di pinggiran Muaro Padang, muara sungai Batang Harau. Orang-orang Aceh, dan mungkin juga pedagang Arab dan Gujarat, telah menjadikan kawasan itu sebagai  tempat transaksi perdagangan lada dan emas, dengan pedagang perantara pesisir Minangkabau.

Belanda yang kemudian menguasai Padang di tahun 1664, mendirikan pos perdagangan beserta benteng VOC di dekat kawasan itu.

Freek Colimbijn dalam buku Paco-Paco (Kota) Padang menerangkan, benteng VOC terletak sekitar 1,25 kilometer ke arah darat dari pelabuhan Muaro Padang, dan menempati lahan seluas 1 hektare. Benteng tersebut dikatakan, dihuni oleh residen Padang, beberapa orang pembantu, dan sepasukan tentara.

“Klenteng berlokasi di Pondok sekarang. Jejaknya tidak kelihatan karena tahun 1812 dihancurkan oleh Inggris, lalu lahannya dijual ke orang China,” ungkap Eko Alvarez, ahli tata kota dari Universitas Bung Hatta (UBH).

Menurut Eko, benteng dibangun sebagai bagian dari kelengkapan penetrasi Belanda di Padang. Selanjutnya, kata Eko, Belanda melanjutkan invasi, dan kemudian kolonialisasi sebagai pengejewantahan strategi penjajahan di zaman itu.

“Sementara orang China, Arab, dan lainnya sengaja di undang untuk menghidupkan perdagangan,” tukasnya.

Sementara pribumi, dalam hal ini keluarga Angku Lareh— penguasa lokal yang di sub koordinasi oleh Belanda, sebut Eko, tumbuh di sekitar benteng tersebut.

Dari pelabuhan Muaro Padang hingga di benteng atau kawasan Pondok sekarang, Kota Padang Lama menurut Eko, seterusnya menjalar hingga jalan Raden Saleh sekarang atau di Pasar Pagi. Sementara jalan Khatib Sulaiman sekarang, disebut luar Padang.

Perluasan Padang ke arah utara adalah suatu hal yang wajar terjadi, mengingat bentuk geografis Padang tidak memungkinkan meluas ke semua arah. Ke barat, dengan berpedoman benteng VOC sebagai pusat kota di kala itu, sudah dipastikan tak bisa karena ada Samudera Hindia.

Sementara ke arah selatan, berdiri menjulang Gunung Padang dan Gunung Monyet. Sebab itu, perluasan ke arah utara dan mungkin mendekati timurlah yang memungkinkan.

Kita masih bisa menyaksikan hingga saat ini, dengan benteng VOC sebagai titik nol, Padang  Kota Lama mengambang ke arah utara dan timur. Dan bagaimana dengan pemukiman di Gunung Padang? Ini sebetulnya dipaksakan, dan mungkin karena keterbatasan lahan, orang Nias yang telah dilokalisir di Kampung Nias, eksodus ke lahan tak bertuan tersebut

Menariknya, tata ruang atau pemukiman yang dirancang Belanda untuk Padang Kota Lama, seperti dibalut dengan ide rasialisme.

Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan menilai, perluasan kota lama Padang, diikuti pengembangan pemukiman yang dicurigai berbau rasialisme.

Dekat pelabuhan Muaro Padang atau dekat benteng VOC, katanya, ditinggali oleh orang Belanda. Di luar itu yakni  kawasan yang dikenal dengan Pondok sekarang, didominasi oleh orang China.

Bergeser ke arah barat dari Pondok, yang dinamakan Kampung Dobi, dihuni oleh orang India atau bangsa Keling.  Sisi utara Dobi, berdiri pemukiman orang Jawa, dikenal dengan Kampung Jawa. Sedangkan kawasan yang dikenal Belakang Tangsi sekarang, juga merupakan bagian dari pemukiman orang Jawa.

Sementara sisi timur dari Pondok, dikenal dengan Kampung Nias, dimana orang Nias yang mendominasi pada masa awal. Dan dengan alasan perkembangan populasi, mereka membuka pemukiman di pinggang Gunung Padang.

Ujung utara Kampung Nias, jelas Gusti, dihuni oleh bangsawan lokal. Kampung tersebut disebut Ranah dan Alang Laweh. Kawasan ini menjadi tempat tinggal kaum Suku Nan VIII.

Selanjutnya, Kampung Dobi diisi oleh India, Kampung Nias, diisi oleh orang Nias, Kampung Jawa, orang Jawa, dan Ranah merupakan tempat tinggal orang Minang khususnya bangsawan.

“Diluar kawasan itu, rakyat badarai (akar rumput atau pribumi biasa) yang tinggal,” tukas Gusti.

Sementara Eko Alvarez menyangkal kalau konsep tata ruang Padang Kota Lama tersebut berbalut ide rasialisme. Ia menilai, konsep tata ruang Padang lebih menggambarkan sebagai kota multietnis, sebagaimana juga terjadi pada kota kolonial lainnya di Nusantara.

“Misalnya pemukiman China di Pondok atau Kampung China, sengaja di lokalisir karena berfungsi sebagai pedagang perantara,” ujarnya.

Sementara Freek, mengatakan, perantau Minang, komunitas pertama yang menetap di daratan pesisir Padang, dan terus berdatangan ke Padang sepanjang abad ke-20.

Tahun 1930, kaum pendatang membentuk 47 persen  penduduk asli Padang, dimana 80 persen berasal dari Sumatera Barat— Minangkabau, Mentawai, dan China.

Kebanyakan perantau Minang yang turun dari Solok, mendiami Pauh dan Kuranji. Sementara eksodus dari darek seperti Tanah Datar dan Agam, mendiami Koto Tangah. Ada juga yang mendiami Ranah, yang termasuk trah bangsawan. Mereka membentuk nagari dengan nama Nan VIII Suku.

Selain itu, Pasar Gadang yang terletak dekat benteng VOC, menjadi tempat perdagangan kain orang Minangkabau. Untuk beribadah, maka didirikan sebuah mesjig di Kampung Ganting, yang merupakan perpindahan dari Seberang Padang.

Sementara suku Nias seperti ditulis Freek, menjadi kelompok asli kedua yang menjadi penduduk Padang. Sejak abad ke-17, mereka –maaf— dibawa oleh VOC sebagai budak. Hingga tahun 1837, jumlah orang Nias mencapai 1.864 jiwa.

Meski Pengadilan Negeri Padang memutus sistem perbudakan, namun sebagian besar orang Nias memutuskan untuk tetap tinggal di Padang.

“Mungkin mula-mula orang Nias menetap di Kampung Nias, tapi sejak abad ke-19, banyak yang tinggal di Gunung Padang,” jelas Freek yang merupakan akademisi di Universiteit Amsterdam ini.

Hunian orang Nias di Gunung Padang disebut dengan Kampung Telling. Di perbukitan tersebut juga terdapat perkuburan etnis China.

Sementara suku Jawa yang datang ke Padang, beberapa literatur menyebut, sebagai orang hukuman dan juga sisa prajurit balatentara Sentot yang terlibat dalam Perang Paderi. Disamping itu, juga buruh kontrak yang datang pada awal abad ke-20.

“Nama Pasar Jawa dan Kampung Jawa mengacu kepada perkampungan awal mereka, bukan karena kegiatan perdagangan,” seperti dikutip dalam buku Padang Riwayatmu Dulu, karya Rusli Amran.

Prihal etnis China, Freek mengatakan, komunitas China merupakan satu diantara penduduk tetap pertama di Padang. Mereka datang tak lama setelah pendirian pos perdagangan VOC.

Etnis China yang tinggal di Padang terbagi dua yakni totok—kelompok pendatang baru dari China dan peranakan— mereka yang lahir di Indonesia dan lebih membaur.

Nama Pondok atau kampung pecinaan sekarang, merujuk pada tempat awal perkampungan mereka. Masa awal, China Padang kebanyakan beprofesi sebagai pedagang perantara, membeli hasil bumi langsung dari produsen, pribumi, dan menjualnya ke Belanda.

Sedangkan suku Tamil (Keling) yang menjadi bagian dari populasi Padang hingga hari ini, berasal dari India selatan. Mereka, seperti ditulis Freek, kemungkinan keturunan tentara yang mendampingi Inggris selama masa peralihan, antara tahun 1781-1784 dan 1795-1814. Populasi suku Tamil diperkirakan sekitar 2 persen dari total populasi Padang di masa itu.

Daerah hunian suku Tamil di Kampung Keling atau yang dikenal dengan Kampung Dobi sekarang. Menurut Freek, daerah tersebut merupakan pusat perdagangan paling hidup karena suku Tamil bekerja sebagai pedagang kecil dan pembantu rumah tangga.

Disamping itu, juga ada suku Arab yang jumlahnya tidak sampai setengan persen dari populasi. Juga ada sekitar 100 orang Jepang pada tahun 1930. Dan komunitas Eropa dan Indo-Eropa dalam skala minoritas kecil. Karena terbilang berpopulasi kecil, maka kita tak menemukan nama kampung di Padang berdasarkan komunitas-komunitas ini.

Padang Kota Lama, seperti dikatakan Freek, hingga menjelang tahun 1906 perkembangan demografisnya mencakup tiga tempat utama yakni, benteng VOC, pasar, dan mesjid. Semuanya terletak di pinggir kanan sungai Batang Arau.

Di pinggir Batang Arau ini juga banyak berdiri gudang-gudang dan kantor perusahaan dagang.

Dalam buku Paco-Paco (Kota) Padang, Freek Colimbijn menulis, pertengahan abad 19, sewaktu Padang baru pulih dari akhir malapetaka periode VOC, populasi masih menjukan angka sedang, jauh dibawah angka 40 ribu sebagaimana data penduduk di tahun 1900.

Perluasan perdagangan dan pembukaan pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) tahun 1892, mendorong lebih banyak pendatang.

Padang awalnya, Padang menjadi hunian baru orang Minangkabau yang datang dari Dataran Tinggi Padang atau darek. Mereka datang jauh sebelum Belanda menguasai kota dengan tagline Tercinta ini.

Seperti dilansir dalam buku Paco-Paco (Kota) Padang, tahun 1819, populasi Padang berjumlah 8.500 jiwa. Pada tahun 1905 meningkat menjadi 47.000. Menjelang kemerdekaan, tahun 1940, populasi Padang berjumlah 60.000. Dan di tahun 1990, berjumlah 631.543 jiwa. Sekarang berjumlah hampir mendekati satu juta jiwa.

“Karena peningkatan kepadatan penduduk, Padang telah kehilangan tata ruang yang luas seperti di awal abad ke 20. Bidang tanah menjadi semakin kecil, dimana kebun sudah dijadikan areal perumahan atau bangunan umum,” tulis Freek.

Awal abad ke- 20 ini, perkembangan kota kian menjauh dari sungai Batang Arau, menjalar ke arah utara dan timur. Apalagi, setelah dibangunnya jalan raya Belantung (Sudirman sekarang), maka bangsa Eropa lebih memilih tinggal disini.

Sementara markas tentara didirikan di bekas areal pertanian di Sawahan.

Melihat domografis Padang di masa awal, mungkin bisa dibenarkan mengacu pada ide rasialisme. Apalagi jika kita merujuk pada penggolongan penduduk yang diberlakukan Belanda; pertama, orang Eropa dan Amerika, kedua, orang China, India, Jepang & bangsa Asia Timur lainnya, dan ketiga, pribumi (inlander).

Tulisan: Yose H. Chende