![]() |
Pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman, asal Bali, memberi nama Koesno Sosrodihardjo. Namun, sering didera sakit hingga berusia lima tahun, Raden Soekemi mengubah nama anaknya menjadi Soekarno.
Kelak, Putra Sang Fajar mengganti ejaan Soekarno menjadi Sukarno, karena menurutnya Soekarno adalah ejaan dari penjajah Belanda.
Sukarno adalah salah seorang diantara kaum intelektual di negeri Hindia-Belanda yang tumbuh di dekade 1920-an. Hal yang membedakannya dengan intelektual dan kaum aktivis lainnya, semacam Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjarir, adalah tak pernah bersekolah di luar negeri.
Meski pun demikian, Sukarno tak pernah minder. Ia merupakan salah seorang paling dikenal oleh pelajar yang sedang ‘merantau ideologi’ di negeri Belanda atau negara Eropa lainnya. Antara mereka selalu terjalin korespondensi, untuk sama-sama memperjuangkan kemerdekaan melalui pendidikan dan politik.
Sebetulnya, Sukarno telah menyelami dunia pergerakan sebelum tahun 1920-an. Tahun 1915, Sukarno telah bergabung menjadi anggota Jong Java.
Paling monumental adalah tahun 1927, ketika ia mendirikan Partai Nasional Indonesia. Setelah itu, aktivitas Sukarno selalu diawasi ketat oleh pemerintah kolonial. Bahkan, hingga sebelum Jepang masuk awal tahun 1942, ia sering bolak-balik mendekam di penjara dan diasingkan.
Masa Peralihan
Masa peralihan penguasa Hindia-Belanda (baca Indonesia sekarang), dari Belanda ke Jepang di awal tahun 1942, Sukarno menjadi salah seorang yang diperlakukan istimewa sekaligus ‘diperebutkan’.
Tokoh lain seperti Hatta, Amir Syafruddin, Sjarir, Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara, mungkin masih kalah berpengaruh dibanding Sukarno, dimata Jepang.
Sebelum Jepang masuk, Sukarno tengah diasingkan di Bengkulu. Menjelang detik-detik kekalahannya, Belanda mengutus seorang petugas ke tempat pengasingan Sukarno di Bengkulu.
Seperti ditulis dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Kota Padang dan Sekitar, Belanda buru-buru membawa Sukarno ke Padang, dengan maksud tidak jatuh ke tangan Jepang.
“Belanda khawatir, jika nantinya Sukarno dimanfaatkan Jepang untuk tujuan propaganda anti-Belanda,” kata sejarawan Universitas Negeri Padang Mestika Zed.
Dalam buku yang ditulis oleh Mestika Zed, Emizal Amri dan Edmihardi tersebut, dikatakan, Bung Karno dan isterinya disuruh jalan kaki melewati hutan dari Bengkulu ke Padang, agar tak diketahui oleh pihak Jepang.
Jika telah sampai di Padang, Sukarno hendak dibawa ke Australia oleh pihak Belanda. Namun, pada saat itu pertengahan bulan Februari 1942, pihak Belanda mendapat kenyataan Jepang telah menguasai Padang. Akhirnya Belanda tak jadi dibawa, karena pejabat dan tentara Belanda lebih memilih menyelamatkan diri masing-masing.
“Kapal terakhir yang ada di Teluk Bayur dapat berangkat, namun tak sampai di tujuan karena dekat perairan Pulau Enggano, karam diterjang meriam Jepang,” jelas Mestika.
Kegagalan Belanda membawa Sukarno ka Australia, menjadi penyebab Sukarno terdampar di Padang hingga 5 bulan berikutnya.
Di Kota terbesar pantai barat Sumatera ini, Sukarno tak butuh waktu lama untuk menjadi figur penting. Ia bersama Inggit, awalnya menginap di rumah Egon Hakim, selanjutnya pindah ke rumah kawan lama, Waworuntu.
Saat itu, kedatangan Jepang dielu-elukan oleh rakyat. Seperti ditulis dalam buku diatas, di jalanan rakyat meneriakan Merdeka, Banzaai, Hidup Jepang. Sukarno juga merasakan euforia rakyat menyambut Jepang, yang dianggap sebagai Saudara Tua, yang akan membebaskan Saudara Muda.
Disisi lain, kata Mestika, saat berjalan-jalan di sepanjang jalan kota, Sukarno menyaksikan dengan mata telanjang banyak orang-orang yang terlantar, lemah, dan tidak dapat perlindungan secara wajar.
“Sebagai penganjur kebebasan yang baru saja bebas dari penjara Belanda, Sukarno kembali memulai kegiatan pergerakan yang telah lama ditinggalkan,” jelasnya.
Menurut Mestika, salah peran penting Sukarno di Padang adalah mendirikan Komite Rakyat, organisasi penjaga ketertiban dan keamanan yang diretui Jepang. Kemudian juga didirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) versi Jepang.
Disela-sela itu, Sukarno juga sering berpidato di tempat umum. Isi pidato Sukarno sangat kentara menjelaskan sikap politiknya yang lebih memilih menjadi mitra Jepang.
Selain di Padang, Sukarno juga menyempatkan diri melakukan perjalanan ke Bukittinggi. Dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Padang tersebut, ditulis, Sukarno sering ditemani oleh Sutan Usman Kasim, saat melakukan perjalanan ke luar kota.
Saat di Padang, jelas buku terbitan 2002 itu, Sukarno pernah didatangi oleh perwira Jepang, Kapten Sakaguci, anggota Sendenbu (Departemen Propaganda). Ia ditemani oleh Jahja Djalili, seorang wartawan.
Maksud kedatangan Sakaguci adalah untuk berkenalan dengan Sukarno, yang dianggap orang terkenal di Indonesia saat itu. Setelah perkenalan itu, hubungan mereka terjalin dengan baik.
Singkat cerita, ketika Jepang mulai bertindak tegas, dengan melarang penaikan bendera merah-putih, Sukarno datang ke kantor Sakaguci, meminta untuk membatalkan perintah penurunan bendera merah-putih.
Namun, Kapten Sakaguci menolak. Lantas, Sukarno menceritakan pertemuan dengan Kapten Sakaguci, termasuk hasilnya dalam suatu rapat dengan tokoh pergerakan lainnya.
Meski demikian, kharisma Sukarno tak pernah sirna di mata Jepang. Ia tetap dianggap sosok paling berpengaruh di Indonesia. Tiga hari setelah perjuangan Sukarno membatalkan aturan tersebut, justru Sakaguci menemuinya, menyampaikan pesan Komando Balatentara Dai Nippon Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi.
Ia menerima. Dalam perjalanan, ia disambut rakyat secara hangat di setiap stasiun pemberhentian kereta api. Di Markas Komando Dai Nippon tersebut, Sukarno disambut oleh Kolonel Fujiyama, komandan Gerakan F-Kikan, intelijen yang menyelusup ke Sumatera sebelum kejatuhan Belanda.
Dalam dialog yang berlangsung dua jam itu, Mestika mengatakan, Fujiyama menyampaikan kepada Sukarno agar bersedia bekerjasama dengan Jepang.
“Di bawah tekanan psikologis yang berat, Sukarno terpaksa menerima tawaran Jepang itu. Suatu sikap yang dipegangnya hingga kembali ke Jakarta via kapal Jepang dari Teluk Bayur ke Tanjung Priok,” ujarnya.
Sukarno sampai di Tanjung Priok tanggal 9 Juli 1942 dengan disambut oleh Hatta dan beberapa tokoh lainnya.
Sementara itu, Komite Rakyat yang didirikannya sebagai upaya mempersatukan garis kaum pergerakan tak berumur panjang. Jepang membubarkannya, karena mencium ada bau ‘pergerakan bawah tanah’.
Tulisan: Yose H. Chende

